Dibalik Pintu Gereja Pniel Gamomeng
Gereja Pniel Gamomeng
“Desain gereja yang khas itu, diambil oleh Lipa di sebuah daerah di Kota Manado, dan bertahan hingga sekarang, dan menjadi salah satu Gereja tertua di Kabupaten Halmahera Barat. Gereja berdiri pada 27 Juli 1971 dengan nama “Ora Et Labora” yang berarti “Berdoa dan Bekerja”, dan di tahbis oleh Pendeta Hermanus yang berasal dari Minahasa,”.
Kepala Desa Dominggus Dalton May memarkirkan motor di sebelah rumah orang tuannya, Ia melihat saya dengan tatapan seperti orang yang baru pertama kali bertemu di sebuah ruang tamu pukul 17.01 WIT. Ia tahu maksud kedatangan saya ke sini setelah percakapan kami via telepon dua hari lalu.
“Mari duduk,” ujarnya dengan wajah sibuk yang tak dapat disembunyikan.
Dominggus adalah Kepala Desa Gamomeng saat ini, salah satu desa di Kecamatan Sahu Kabupaten Halmahera Barat. Di sore itu, Dominggus memulai percakapan dengan perkenalan, Ia bertanya kepada saya tentang nama dan tempat tinggal. Saya menjawabnya dengan perasaan seperti diwawancarai saat melamar kerja di suatu perusahaan.
Pak Kepala Desa itu lantas menyandarkan tubuhnya di kursi dan menampilkan raut wajah yang sedikit ragu-ragu ketika saya meminta izin mewawancarainya tentang pengerjaan kayu di Desa Goal untuk pembangunan Gereja di Gamomeng. Ia mengaku untuk informasi itu tidak diketahuinya secara pasti.
“Hanya orang tua dulu yang tahu, itupun su banya yang maninggal”.
“Trus kalo yang bolom maninggal, Pak Kades?” tanya saya sedikit berharap.
Pria yang baru menjabat dua tahun sebagai Kepala Desa itu kembali mengingat-ngingat, dan berkata seperti orang yang baru saja menjawab satu pertanyaan besar.
“Ada satu orang”.
Saya penasaran, sembari mengira-ngira, mungkin saja yang ia sebutkan adalah salah satu dari beberapa orang yang telah meninggal atau dalam kondisi sakit-sakitan sekarang, atau bisa saja sesuatu yang akan dialami seseorang yang dalam usia renta.
“Tapi kalo mo bakudapa paitua musti sore, barang paitua pulang kabong sore” lanjut Dominggus. Saya pun tersenyum mengiyakan.
Keesokan harinya, pada tanggal 17 juli 2021, Dominggus menyarankan saya untuk bertemu dengan Korneles Totidi. Korneles adalah salah satu masyarakat Desa Gamomeng yang ditugaskan untuk berjalan sejauh 15 km lebih bersama temannya, Lewi Noe. Mereka membawa 200 ratus cupa beras dan belasan pakaian serta obat-obatan untuk kebutuhan teman-teman yang berada di hutan belantara Goal. Suatu upaya yang dilakukannya secara sukarela. Ia menceritakan dengan lantang layaknya seorang pria tua.
“Dulu jalang (jalan) bukang bagini, skarang su jalang aspal, dulu itu masih jalang kabong, sengsara itu sampe tong bajalang pake bapegang di akar,” imbuhnya.
Korneles sudah berumur 84 tahun. Dimatanya yang nampak rentah, ia lalu melanjutkan dengan nada yang terdengar pasrah.
“Waktu itu tong mo manangis me salah-salah, mo tara manangis sedangkan ini jao”.
Saya tak dapat membayangkan apa yang dirasakannya kala itu. Semua yang berjalan seperti telah menjadi takdirnya.
Di masa awal pencarian Kayu Gufasa atau Kayu Bitti (Vitex Cofasuss) ini, semua terasa sangat sulit. Pencarian itu dilakukan pada tiga tempat yang berbeda, awalnya mereka menelusuri Gunung Tamo dan Desa Marimbati yang dilalui memakai perahu lewat sungai air cempaka.
Sayangnya, kayu yang dicari tidak kunjung ditemui. Hingga akhirnya seorang teman dari Korneles menyarankan untuk menelusuri hutan belantara Goal. Pada tahap awal, mereka harus meminta persetujuan oleh masyarakat Goal. Kesepakatan pun terjadi dengan syarat agar Korneles dan teman-temannya menyisakan 5 kubik kayu yang mereka tebang sebagai bahan gereja di Goal. Mengingat hal itu, masyarakat desa Gamomeng kala itu mengadakan rapat untuk membahas syarat yang diberikan oleh warga Goal.
“Ih kalo iko dorang, akang tong sampe satu taong lebe tinggal di Goal,” keluh salah satu teman Korneles yang juga warga Gamomeng saat itu.
“Itu tara masalah,” jawab Kepala Desa Gamomeng saat itu sambil menatap tiap-tiap warganya lekat.
Kepala Desa yakin bahwa pembangunan rumah Tuhan pasti mendapat persetujuan bersama. Korneles Totidi menceritakan kisah itu kepada saya di dalam rumahnya berdinding putih yang tanpa hiasan-hiasan seperti rumah pada umumnya. Ia tertawa ketika mencoba kembali mengingat-ngingat masa silam yang disebutnya sebagai sebuah perjuangan.
Saat itu, saya duduk di kursi plastik warna hijau dihadapannya, dan kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan itu mengandung sebuah tekanan keresahan.
“Untung waktu itu tong dengar-dengaran, tara sama deng anak-anak skarang ini la kapala batu deng kapala angin”. Dan kami tertawa lepas, tetapi saya merasa sial, pria tua itu seperti melampiaskan keresahannya kepada saya.
Ketika penebangan kayu yang digerakkan oleh 12 Kepala Keluarga mendapat persetujuan, mereka kemudian mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Kapak, parang, gergaji, dan kresel diasah sebelum berangkat ke Desa Goal. Dengan alat seadanya, penebangan dilakukan secara manual. Pria tua itu mengaku kalau saat itu sakit sekali. Teknologi belum secanggih sekarang, orang dengan mudah bisa menebang pohon menggunakan gergaji mesin modern dalam waktu cepat, sedangkan kala itu ia dan kawan-kawan harus memanfaatkan kekuatan otot tangan, dengan pelan dan sabar serta penuh perhitungan, mereka melakukan secara suka rela dan gotong royong. Penebangan menghabiskan waktu selama 12 bulan dan mendapat 10 kubik lebih dengan panjang 3 sampai 5 meter.
“Dulu 1 kubik itu bisa 30 lebe,” ucap Korneles.
“Sedangkan ukuran balok-balok itu sekitar 10 x 10 sama 16 x 16 cm,” lanjutnya.
Di kampungnya, Korneles kerab dipanggil Tete Karong, ia bercerita tentang masa dimana usianya baru berumur 30 tahun saat itu. Setelah penebangan dilakukan, sebagian temannya muntah darah dan mengalami penyakit kencing darah. Tak ada dokter, tak ada bantuan, seluruh keyakinan tentang kesehatan, mereka percayakan pada tiga obat yang dibawa olehnya dan Lewi Noe, yakni “Nasfro, Solfa, dan satu obat untuk malaria Kenine,” ungkap pria berkumis lebat itu.
Saya menatapnya, raut wajahnya tampak serius, sejak kecil ia diperhadapkan oleh kehidupan perang, dentuman-dentuman bom dan selongsong-selongsong peluru yang melaju tak terbaca. Semua serba susah, ia dan kakaknya Celo sering mengambil sisa-sisa parasut yang tersangkut di batang pohon untuk di jahit menggunakan tali nanas menjadi pakaian.
Pengalaman-pengalaman seperti itu menjadikan Korneles masih tampak perkasa di usianya yang sudah 84 tahun ini. Setiap harinya ia masih rajin ke kebun yang berjarak 1 Km dengan bertelanjang kaki. Karena tak memakai sendal, cucunya sering mengeluh.
“Tete tara pake sandal kong”. Ia pun menjawab dengan tekanan orang tua yang memancing tawa.
“Ee.. pake sandal itu biking lumpuh, lebe bae kaki talanjang la injang batu-batu kacil itu la jang lumpuh”. Kami pun tertawa bersama.
Saya terkesan dan berpikir bahwa menjaga hidup tetap kuat dan bugar adalah sangat penting untuk kehidupan yang masih berjalan. Dalam percakapan yang berlangsung sejam itu, saya mendengar kisah yang menakjubkan dari seorang pria yang lupa tanggal lahirnya ini. Sesaat ketika kayu-kayu telah dialiri melalui sungai Akelamo dengan rakit dalam satu malam. Mereka harus kembali mengangkatnya ke Desa Gamomeng untuk pembuatan gereja tahun 1967. Beberapa temannya sering mengeluh kesakitan. Namun Korneles dengan nada yang bijak berkata kepada saya.
“Dulu ngana mo bataria p sapa, kitorang cuma bataria p Tuhan saja. Kalo memang biking rumah Tuhan, ya Tuhan kehendaki torang kekuatan dan ketabahan” ia melanjutkan dengan sedikit tertawa “Katarada orang samua lari, me tara poha mo”.
Saya terdiam dan terus melihatnya. Pada suatu hari dalam pembuatan Gereja, terjadi kejadian yang kurang mengenakkan. Para tukang pernah kesal karena tak dibayar upahnya dan mengancam mereka dengan mengambil seekor sapi besar milik kakaknya Celo.
“Kalo ngoni tara bayar, tong jual ini sapi,” ujar seorang tukang.
Masyarakat tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada uang yang dimiliki. Karena merasa punya tanggung jawab, Korneles bekerja sebagai pengangkut kopra, dan memikul 400 kopra dalam sehari. Ia mengaku tak merasakan apa-apa demi upah tukang. Ini membuat masyarakat akhirnya bersepakat untuk mengambil alih pembuatan Gereja dengan gotong royong.
Desain gereja yang khas itu, diambil oleh Lipa di sebuah daerah di Kota Manado, dan bertahan hingga sekarang, dan menjadi salah satu Gereja tertua di Kabupaten Halmahera Barat. Gereja berdiri pada 27 Juli 1971 dengan nama “Ora Et Labora” yang berarti “Berdoa dan Bekerja”, dan di tahbis oleh Pendeta Hermanus yang berasal dari Minahasa.
Tak ada yang menyangka, masyarakat harus menanti selama 4 tahun untuk bisa beribadah di Gereja yang konstruksinya tidak mengenakan paku melainkan pen. Pen atau sambungan kayu ini adalah sebuah konstruksi yang menyatukan dua atau lebih batang kayu. Terlebih lagi Korneles menyatakan bahwa bangunan ini lebih kokoh, dan menyebutkan dengan suatu sebutan yang asing di telinga saya “Di dia p dinding itu pake Patate, anyam deng bambu dulu baru lempar deng smen”. Saya tak bisa membayangkannya dengan tepat, yang terbersit di benak saya hanyalah bangunan dengan batu dan batu tela.
Di tanggal 9 Desember 1977, enam tahun kemudian. Masyarakat Gamomeng yang menganut Agama Kristen Protestan, mengganti nama Ora Et Labora menjadi “Pniel” yang bermakna “Aku telah melihat Allah, muka dengan muka, tetapi nyawaku tertolong”. Suatu nama yang saya tebak mungkin ada dalam kisah-kisah Kristen. Ini sedikit membuat saya mengingat kisah masuknya Kristen di Gamomeng.
Walau tak diketahui kapan masuknya, namun masyarakat percaya saat kedatangan Penginjil Apono dari Ambon, yang berdoa memakai sebuah lesung atau tumbuk padi sebagai mimbar untuk meminta anak kepada Tuhan, agar diberikan pada sepasang suami-istri yang cukup lama belum mendapatkan momongan.
Akhirnya dengan doa itu sepasang suami-istri itu mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yohanes yang berarti Tuhan Maha Baik atau Pemurah. Dan setelahnya seorang putri cantik yang diberi nama Magdalena.
Gereja Pniel Gamomeng masih berdiri kokoh hingga saat ini, permukaan tembok yang menjulang tinggi telah dilapisi dengan warna kuning. Menariknya, bentuk jendela gereja ini seperti kontruksi khas eropa. Pada tampak depannya, menjulang tembok yang nampak seperti menara, disematkan padanya gambar salib seperti lambang keteguhan iman masyarakat Gamomeng kala itu dalam membangun rumah Tuhan.
Tiba-tiba, dari depan pintu seseorang masuk. Karong menyambutnya seperti sapaan seorang teman dan mengobrol sesuatu hal yang hanya dimengerti oleh mereka. Saya melihat-lihat di sekeliling rumahnya, tak ada yang begitu spesial. Sebuah televisi menyala tanpa ada orang yang menonton, di atasnya terdapat jam yang menunjukan pukul 18.30 WIT.
Mungkin ini waktu untuk pulang, pikir saya. saya segera berterima kasih pada orang yang saya sapa Tete Karong ini karna sudah meluangkan waktu. Ia tersenyum penuh keramahan ketika saya berpamitan. Pada raut wajahnya yang nampak tua, Tete Karong mengajari saya makna keikhlasan.
Penulis: Afdhal Ruslan
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di sabua,id edisi 24 November 2021.