Presiden Prabowo Bentuk Kementrian Percepatan Pembangunan Indonesia Timur, Inggrid Nola: Solusi atau Kepentingan Elit?
JAKARTA, JH- Pembentukan kementerian baru, yakni Kementrian Percepatan Pembangunan Indonesia Timur di bawah Kementerian Transmigrasi oleh Presiden Prabowo Subianto menuai kritikan dari berbagai pihak, khususnya dari Kabid Pemberdayaan Perempuan Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB FORMMALUT Jabodetabek), Inggrid Nola.
Kementrian yang digadang-gadang akan berfokus pada pembangunan di Indonesia Timur ini masih kerap dipertanyakan tujuan dasarnya.
Inggrid Nola, Kabid Pemberdayaan Perempuan PB FORMMALUT Jabodetabek menyatakan, keraguan dan kekhawatirannya terhadap pembentukan kementerian ini. Pasalnya menurut Inggrit dengan didirikannya kementrian tersebut apakah kementerian tersebut benar-benar bertujuan mempercepat pembangunan atau justru menjadi alat eksploitasi sumber daya alam di Indonesia Timur.
“Kami mempertanyakan tujuan sebenarnya dari kementerian ini. Apakah ini upaya serius untuk mempercepat pembangunan, atau hanya dalih untuk mengeksploitasi lebih lanjut potensi sumber daya alam yang dimiliki provinsi-provinsi kepulauan di Indonesia Timur, seperti Maluku, Maluku Utara, NTT, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Riau?” ujarnya.
Menurut Inggrid, masalah-masalah struktural yang dihadapi oleh lima provinsi kepulauan di Indonesia masih belum terselesaikan hingga saat ini. Kemiskinan, keterbelakangan infrastruktur, dan kurangnya akses terhadap layanan dasar masih menjadi problematika utama yang dihadapi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Ia menambahkan bahwa meskipun wilayah-wilayah ini diakui sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, perhatian yang diberikan pemerintah pusat tidak sebanding dengan kebutuhan mendesak di lapangan.
“Kementerian ini dibentuk di tengah belum selesainya RUU Kepulauan, yang sudah lama dinanti-nantikan oleh masyarakat. Setelah dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, RUU ini masih tertunda. Apakah ini menjadi solusi atau hanya langkah politis untuk kepentingan segelintir elite?” tambah Inggrid.
Sebagai seorang perempuan dari Maluku Utara, Inggrid menyuarakan kekhawatirannya bahwa kementerian ini bisa menjadi kendaraan bagi mafia tambang dan calo proyek untuk mengeruk kekayaan alam di Indonesia Timur, seperti nikel, emas, dan hasil laut. Menurutnya, sejarah telah menunjukkan bahwa ketika pengelolaan kekayaan alam dikendalikan oleh elite yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, masyarakat lokal sering kali menjadi korban eksploitasi.
“Kekayaan alam yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat justru berpotensi diambil alih oleh kepentingan segelintir orang,” tegasnya.
Inggrid juga menyoroti kurangnya figur teknokrat dan profesional berjiwa kerakyatan dalam kementerian tersebut. Ia merasa bahwa kementerian ini lebih cenderung dikelola oleh orang-orang yang lebih fokus pada proyek besar ketimbang pembangunan yang berkelanjutan dan partisipatif. Hal ini, menurut Inggrid, adalah sinyal bagi masyarakat Indonesia Timur untuk berhati-hati.
“Kita tidak bisa mempercayakan nasib pembangunan di tangan mereka yang tidak memiliki visi kerakyatan. Kita harus aktif mengawasi jalannya pemerintahan, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam di wilayah kita,” katanya.
Inggrid Nola mengajak seluruh masyarakat di provinsi-provinsi kepulauan untuk waspada terhadap potensi eksploitasi yang mungkin terjadi di bawah kementerian baru ini. Selain itu, ia juga mendesak pemerintahan Prabowo Subianto, beserta Koalisi Indonesia Maju (KIM), untuk memberikan klarifikasi mengenai penundaan pengesahan RUU Kepulauan yang sudah lama tertunda.
“Keterlambatan ini mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kepulauan,” tegasnya.
Inggrid mengingatkan bahwa pembangunan yang tidak didasarkan pada kepentingan rakyat akan selalu menjadi ancaman bagi masyarakat. Oleh karena itu, kementerian baru ini harus diawasi secara ketat agar tidak menjadi alat eksploitasi yang merugikan masyarakat Indonesia Timur.
“Kita harus bersatu untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan selalu berpihak kepada rakyat, bukan pada elite yang hanya mengejar keuntungan pribadi,” tutup Inggrid.