Korupsi Partai Politik dalam Pilkada 2024
Oleh : Safrudin Taher
Indonesia, sebuah negara yang mengagungkan sistem demokrasi, kini dihadapkan pada ironi besar dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Sistem subkoordinat yang diterapkan membawa kita makin tenggelam dalam jurang korupsi. Proses ini bermula dari langkah awal para calon kepala daerah untuk mendapatkan surat tugas partai, rekomendasi partai, dan B.1-KWK atau surat resmi dari partai politik.
Bayangkan, satu kursi partai politik dapat “dijual” dengan harga satu miliar rupiah. Jika seorang calon gubernur, wali kota, atau bupati membutuhkan empat kursi untuk maju, maka dia harus mengeluarkan empat miliar rupiah. Kenyataan pahit ini menunjukkan bagaimana sistem partai politik mendorong calon untuk korupsi sejak awal.
Fenomena di atas, membuat calon kepala daerah tidak lagi memikirkan kepentingan daerahnya. Fokus mereka telah beralih ke Jakarta, pusat kekuasaan dan pengaruh. Mereka harus menjalin hubungan baik dengan elite politik pusat demi mendapatkan restu dan dukungan. Akibatnya, kita mendapatkan pemimpin yang terpilih berdasarkan bisnis, bukan meritokrasi.
Calon pemimpin ini berpikir seperti pebisnis, bukan pelayan publik. Mereka terjebak dalam utang politik kepada para pengusaha yang mendanai para calon untuk belanja partai dan kampanye mereka. Pada akhirnya keputusan yang diambil tidak lagi berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi untuk membayar balik jasa dan utang kepada pengusaha yang mendanai.
Kepala daerah yang terpilih nantinya melunasi utang ke pengusaha/kapitalis dengan memberikan proyek-proyek multiyears yang nilainya hingga milyaran rupiah. Hal ini tentunya sudah bisa dipastikan bahwa public policy bukan lagi untuk kepentingan publik, sehingga berbagai permasalahan sosial ekonomi masyarakat tidak akan bisa diselesaikan oleh pemerintah yang telah diberikan kewenangan dan kepercayaan oleh rakyat.
Kepala daerah nantinya menjadi pemburu rente (rent seeking) dari setiap kebijakan pembangunan. Perselingkuhan penguasa dan pengusaha ini tentunya hanya fokus pada meraup keuntungan dari setiap kebijakan. Hal ini akan menjadikan pemerintahan berjalan tidak sesuai pada koridor yang semestinya. Berbagai kebijakan publik yang dilahirkan hanya untuk kepentingan dalam mempertahankan atau memperbesar kekuasaan kepala daerah.
Sistem subkoordinat yang dominan dalam Pilkada di atas tidak hanya memberi ruang bagi korupsi, tetapi juga mengubah proses demokratis menjadi arena bisnis politik yang mahal dan tidak adil. Menurut Democracy for salai karya Aspinall dan Berenschot (2019), praktik politik uang dan patronase tidak hanya merusak kualitas demokrasi, tetapi juga memastikan bahwa para pemimpin yang terpilih cenderung kurang kompeten dan rentan terhadap korupsi. Karya Aspinall dan Berenschot mengungkapkan bagaimana nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas dan transparansi tereduksi menjadi komoditas dalam politik lokal.
bakti, Nurhasim, dan Muluk dalam bukunya “Pilihan Tak Berujung” (2017), menunjukkan bahwa tantangan utama dalam Pilkada adalah politik uang dan manipulasi suara. Praktik ini tidak hanya mengancam integritas proses demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik. Reformasi diperlukan untuk memastikan bahwa Pilkada berjalan jujur dan adil, serta untuk meningkatkan literasi politik masyarakat agar mereka memilih pemimpin berdasarkan kompetensi dan visi, bukan tergantung pada dukungan finansial.
Di sisi lain, buku Korupsi Politik di Indonesia karya Nandang Alamsah Deliarnoor (2012) dan jurnal Diego Fossati Local Democracy dan Corruption in Indonesia’s Direct Local Elections (2016) menggambarkan bagaimana sistem subkoordinat dalam Pilkada menjadi sumber utama korupsi. Langkah awal para calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan partai sering kali melibatkan transaksi bisnis yang tidak transparan dan merugikan kepentingan rakyat. Praktik ini tidak hanya mereduksi Pilkada menjadi ajang bagi elite politik untuk saling memperebutkan kekuasaan dan keuntungan, tetapi juga membatasi partisipasi publik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi yang sehat.
Literatur di atas menegaskan bahwa politik uang dan patronase telah merusak kualitas demokrasi lokal di Indonesia. Sistem ini menyebabkan pemimpin yang terpilih lebih rentan terhadap korupsi dan kurang kompeten, mengancam integritas proses demokrasi, serta membatasi partisipasi publik yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi yang sehat.
Ironi dalam proses Pilkada 2024 menjadi cerminan betapa pentingnya reformasi mendalam untuk memastikan bahwa pemilihan kepala daerah tidak lagi dipengaruhi oleh transaksi bisnis yang merugikan kepentingan rakyat. Pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam Pilkada tidak bisa dipertanyakan lagi. Hanya dengan membangun sistem yang lebih bersih dan adil, kita bisa memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar melayani kepentingan rakyat, bukan sekadar membayar utang politik kepada pengusaha atau elite politik. Saatnya bagi kita semua untuk bersama-sama berjuang melawan korupsi politik dan membangun Indonesia yang lebih baik, di mana demokrasi benar-benar merakyat dan bermanfaat bagi semua warga negara.