Degradasi Pola Pikir: Faktor Digitalisasi
Oleh : Aprilyadi Agus
Kader HMI Komisariat Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair Ternate
Globalisasi telah memasuki era baru yang bernama Revolusi Industri 4.0. Melalui The Fourth Industrial Revolution menyatakan bahwa dunia telah mengalami lima tahapan revolusi, yaitu: 1) Revolusi Industri 1.0 terjadi pada abad ke 18 melalui penemuan mesin uap, sehingga memungkinkan barang dapat diproduksi secara masal, 2) Revolusi Industri 2.0 terjadi pada abad ke 19-20 melalui penggunaan listrik yang membuat biaya produksi menjadi murah, 3) Revolusi Industri 3.0 terjadi pada sekitar tahun 1970an melalui penggunaan komputerisasi, 4) Revolusi Industri 4.0 sendiri terjadi pada sekitar tahun 2010an melalui rekayasa intelegensia dan internet of thing sebagai tulang punggung pergerakan dan konektivitas manusia dan mesin, dan 5) Revolusi industri 5.0 masih dalam tahapan pengembangan dan perdebatan, akan tetapi secara umum mengacu kepada perekembangan teknologi yang terus meningkat otomoatis dan digitalisasi dalam industri dan sector produksi.
Di era industri 5.0 sekarang ini, perkembangan teknologi kearah yang serba digital berkembang begitu pesat. Di era digital ini, manusia memiliki karakteristik gaya hidup baru yakni tidak bisa jauh dari penggunaan perangkat serba elektronik salah satunya adalah gawai. Gawai telah mempermudah manusia dalam menyelesaikan tugas ataupun pekerjaannya. Peran penting teknologi inilah yang membawa peradaban manusia memasuki era digital. Semakin canggihnya teknologi digital saat ini telah membawa perubahan besar terhadap dunia. Kian hari kian bermunculan teknologi digital yang memanjakan manusia. Akses informasi dipermudah melalui beragam cara, serta banyak fasilitias digital yang dapat dinikmati secara bebas, salah satunya adalah internet.
Hadirnya internet telah membawa warna tersendiri didunia digital. Internet telah menggantikan posisi buku sebagai jendela dunia. Hampir semua pertanyaan bisa dijawab melalui sentuhan-sentuhan ujung jari di layar gawai yang terhubung ke internet. Dengan internet tidak perlu lagi sibuk mencari buku dan membuka satu-persatu halamannya untuk menemukan jawaban yang dibutuhkan, tinggal menulis keyword yang sesuai di mesin pencarian Google maka akan bermunculan begitu banyak pilihan jawaban yang tinggal dipilih mana jawaban yang paling relevan. Namun dibalik kemudahan yang ditawarkan, digitalisasi menyimpan berbagai dampak negatif yang salah satunya adalah ancaman degradasi kualitas berpikir akibat otomatisasi.
Pemanfaatan internet untuk mengakses segala kebutuhan informasi memberikan efek ketergantungan terhadap penggunanya. Kemudahan dalam mengaksesnya seringkali dijadikan sebagai jalan pintas dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Bahkan jawaban atas pertanyaan yang sudah diketahuipun tetap dicari di internet hanya untuk memastikan bahwa jawaban itu benar. Hal ini tentu menjadi sebuah persoalan yang serius, karena jika dibiarkan akan menjadi sebuah ketergantungan yang mengarah pada hal negatif. Ketergantungan terhadap internet ini telah menurunkan kepercayaan terhadap kemampuan diri yang pada akhirnya menumpulkan kemampuan berpikir dalam menyelesaikan sebuah permasalahan karena telah bergantung pada informasi yang telah disediakan melalui akses internet.
Tidak hanya sampai disitu, internet telah membawa sebuah candu baru bagi penggunanya. Apalagi kalau bukan penggunaan media sosial. Media sosial menjadi tempat hidup bagi sebagian besar orang, semua hal bisa dicurahkan dididalamnya. Berbagi tulisan, foto, video, komentar, dan ataupun aktivitas kehidupan apapun bisa dilakukan, dengan kata lain media sosial menjadi sebuah kehidupan versi digital. Bervariasinya konten yang ditawarkan menjadi alasan untuk betah berlama-lama berada didalamya. Hal itulah yang telah membawa sebuah rasa candu untuk menghabiskan waktu berselancar didalamnya, ntah itu untuk menonton video di Youtube, upload foto di Instagram, berkicau di Twitter dan masih banyak lagi aktivitas serta platform digital lainnya. Secara tidak langsung, inilah yang menyebabkan rasa malas untuk melakukan kegiatan produktif yang semestinya harus didahulukan, seperti belajar misalnya. Menurunnya minat belajar ini tentu saja berpengaruh signifikan terhadap kualitas berpikir yang dimiliki setiap individu. Banyak anak yang ketagihan atau kecanduan internet sehingga mereka betah berlama-lama di depan komputer sehingga lupa akan kewajiban mereka yang lebih penting yaitu belajar. Mereka mendapatkan suatu pengalaman baru dan mereka mendapatkan kenyamanan, serta mendapatkan sesuatu yang tidak mereka dapatkan dalam hal belajar.
Bagaikan sebuah pisau, setajam apapun pisau itu akan menjadi tumpul apabila tidak digunakan. Sama halnya dengan berpikir, ketika sebuah waktu lebih banyak dihabiskan untuk melakukan kegiatan di media sosial, maka ketajaman kemampuan berpikir akan menumpul, menumpulnya kemampuan berpikir itu tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya waktu belajar akibat rasa malas yang ditimbulkan, namun pesan-pesan yang dikonsumsi dimedia sosial sedikit banyak telah berpengaruh terhadap pola pikir yang dimiliki. Media sosial sifatnya sangat liar, semua pendapat bisa diutarakan, tidak peduli itu sifatnya baik atau tidak, benar ataupun salah. Walaupun pada beberapa platform sudah memiliki sebuah sistem yang bisa menyaring sebuah konten yang bermasalah, ntah itu sensitif, palsu, atau merugikan sebagian pihak, namun tetap saja masih tidak cukup untuk membatasi keliaran yang ada didalamnya. Penelitian Sari Dewi Yuhana Ningtyas tahun 2012 dengan judul Hubungan Antara Self Control dengan Internet Addiction pada mahasiswa. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecanduan internet atau penggunaan internet secara berlebihan mempunyai hubungan dan dampak terhadap kontrol perilaku dan kontrol dalam aktivitas kegiatannya, sehingga mengakibatkan 8 perilaku yang kurang baik, serta pikiran dan tindakannya hanya tertuju kepada internet, serta mengabaikan hal lainnya yang ada di sekitarnya.
Dipublikasikan pada World Psychiatry, sekelompok peneliti internasional menyatakan bahwa penggunaan internet dapat menciptakan perubahan akut yang terjadi secara terus menerus di otak, terutama pada area yang berkaitan dengan kognisi. Segala sesuatu didalam otak, mulai dari fokus, memori, hingga kemampuan sosialisasi dapat dipengaruhi oleh media sosial dan sistem mesin pencarian Google. “Penggunaan internet dalam kadar yang cukup tinggi sangat berpengaruh pada fungsi-fungsi tertentu di otak,” ujar Joseph Firth, peneliti senior dari NICM Health Research Institute, Western Sydney University. “Sebagai contoh, tak terbatasnya arus notifikasi dari internet membuat perhatian kita terbagi. Akhirnya, itu menurunkan kapasitas kita untuk berkonsentrasi pada satu tugas,” imbuhnya.
Penggunaan perkembangan teknologi digital secara berlebih memberi dampak serta ancaman yang buruk bagi penggunanya, salah satunya terhadap kualitas berpikir. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, penggunaan internet dalam kurun waktu yang lama serta digunakan secara terus-menerus bisa memberikan efek ketergantungan pada penggunanya sehingga menyebabkan rasa malas yang mana hal ini berpotensi mengurangi minat untuk belajar yang pada akhirnya juga berdampak pada penurunan kualitas berpikir karena hasrat yang telah dikuasai oleh internet itu sendiri.
Oleh karena itu dalam menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh digitalisasi seperti diatas perlu dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang lebih bijaksana dalam menggunakan perkembangan teknologi yang ada sekarang ini guna meminimalisir dampak negatif dari digitalisasi. Era digital bukan persoalan siap atau tidak dan bukan pula suatu opsi namun sudah merupakan suatu konsekuensi. Teknologi akan terus bergerak ibarat arus laut yang terus berjalan ditengah-tengah kehidupan manusia. Maka tidak ada pilihan lain selain menguasai dan mengendalikan teknologi dengan baik dan benar agar memberi manfaat yang sebesar-besarnya.